+62 22 4231280  +62811 2001 005

TATALAKSANA GLAUKOMA ANAK SEKUNDER AKIBAT PETERS’ ANOMALY

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Glaukoma pada anak merupakan suatu kelompok penyakit heterogen yang disebabkan oleh kelainan jaras aliran humor akuos baik terisolasi ataupun berkaitan dengan penyakit okular atau sistemik lain. World Glaucoma Association mengklasifikasikan glaukoma pada anak menjadi glaukoma anak primer (primary childhood glaucoma) dan glaukoma anak sekunder (secondary childhood glaucoma).Peters’ anomaly merupakan anomali okular kongenital dengan manifestasi berupa kekeruhan kornea dan disgenesis segmen anterior yang terjadi saat masa perkembangan okular. Ukuran dan derajat kekeruhan kornea bervariasi dari garis hingga seluruh bagian kornea yang dapat mengakibatkan ambliopia deprivatif. Sebanyak 50 – 70% kasus Peters’ anomaly disertai dengan glaukoma anak sekunder.

Glaukoma pada anak merupakan suatu kelompok penyakit heterogen yang disebabkan oleh kelainan jaras aliran humor akuos baik terisolasi ataupun berkaitan dengan penyakit okular atau sistemik lain. World Glaucoma Association mengklasifikasikan glaukoma pada anak menjadi glaukoma anak primer (primary childhood glaucoma) dan glaukoma anak sekunder (secondary childhood glaucoma). Glaukoma anak primer terjadi akibat abnormalitas kongenital primer dari sudut bilik mata depan. Glaukoma anak primer dibagi menjadi glakoma kongenital primer (primary congenital glaucoma/PCG) dan glaukoma juvenile sudut terbuka berdasarkan onset usianya. Glaukoma anak sekunder terjadi akibat abnormalitas struktur okular lain, baik kongenital ataupun didapat akibat tumor, uveitis, trauma, infeksi, dan pembedahan. Abnormalitas okular kongenital yang berhubungan dengan glaukoma yaitu kelainan segmen anterior seperti aniridia, sindrom Axenfeld-Rieger, Peters’ anomaly, sklerokornea, mikrokornea, dan ektropion iris kongenital, serta kelainan segmen posterior seperti persistent fetal vasculature (PFV), retinopathy of prematurity (ROP), familial exudative vitreoretinopathy (FEVR), dan tumor iris, retina, atau badan siliar.

Glaukoma anak sekunder juga dapat terjadi berhubungan dengan penyakit atau sindrom sistemik, seperti sindrom Struge-Weber, neurofibromatosis, sindrom Lowe, dan lens-associated disorders. Kelainan pada jaras aliran akuos humor menyebabkan peningkatan resistensi humor akuos sehingga tekanan intraokular meningkat. Peningkatan tekanan intraokular menyebabkan edema kornea dan pembesaran diameter korena akibat teregang secara gradual.

Glaukoma kongenital primer (PCG) merupakan tipe paling sering pada glaukoma anak. Sebanyak 2/3 kasus terjadi secara bilateral dengan predominansi laki-laki sebanyak 65% kasus. Onset PCG paling sering terjadi dalam 1 tahun pertama kehidupan (80% kasus). Hanya 25% kasus yang terjadi sejak lahir.

Manifestasi klinis PCG berupa epifora, blefarospasme, dan fotofobia (trias klasik PCG). Manifestasi tersebut dapat disertai dengan kornea yang keruh, besar,dengan ditemukan Haab striae (garis kurvilinear pada membran Descemet), insersi iris yang lebih ke anterior, dan hipoplasia stroma iris perifer. Keseluruhan bola mata dapat membesar sehingga memberikan penampakan seperti mata kerbau (buftalmos) dan pseudoproptosis.

Peters’ anomaly merupakan anomali okular kongenital dengan manifestasi berupa kekeruhan kornea dan disgenesis segmen anterior yang terjadi saat masa perkembangan okular. Kebanyakan kasus Peters’ anomaly terjadi secara sporadis, tetapi pola herediter ditemukan pada beberapa kasus dalam bentuk autosomal dominan dan resesif. Peters’ anomaly disebabkan oleh mutasi gen yang berperan dalam perkembangan segmen anterior mata.

Perkembangan kornea bergantung pada migrasi neural crest yang terjadi dalam 3 fase pembentukan segmen anterior saat masa gestasi minggu ketujuh. Fase pertama yaitu pembentukan endotel kornea melalui migrasi neural crest antara surface ectoderm dan lensa. Fase kedua meliputi migrasi neural crest perifer antara endotel kornea yang baru terbentuk dengan surface ectoderm untuk membentuk keratosit yang kemudian membentuk stroma kornea. Fase terakhir meliputi pembentukan stroma iris. Gangguan pada migrasi dan separasi neural crest akan berakibat terjadinya disgenesis segmen anterior.

Karakteristik Peters’ anomaly yaitu adanya daerah kekeruhan kornea sentral dengan defek stroma posterior, membran Descemet, dan endotel kornea. Daerah perifer kornea cenderung lebih jernih. Karakteristik klinis lain yaitu adanya jalinan iris yang memanjang dari kolaret ke permukaan posterior kekeruhan kornea. Korektopia sering ditemukan disertai dengan bilik mata yang dangkal. Ukuran dan derajat kekeruhan kornea bervariasi dari garis hingga seluruh bagian kornea yang dapat mengakibatkan ambliopia deprivatif. Sebanyak 60% kasus Peters’ anomaly terjadi secara bilateral. Peters’ anomaly dapat dibedakan menjadi tipe I dan tipe II. Peters’ anomaly tipe I merupakan tipe yang lebih ringan dengan kelainan terbatas pada iris, endotel kornea, dan membran Descemet berupa adhesi iridokorneal. Peters’ anomaly tipe I sering terjadi unilateral dengan lensa yang jernih dan prognosis yang lebih baik. Peters’ anomaly tipe II cenderung bilateral dengan kekeruhan kornea yang lebih tebal dan disertai adanya abnormalitas lensa berupa adhesi keratolentikular dan katarak.

Diagnosis klinis didapatkan berdasarkan penemuan karakteristik pada pemeriksaan segmen anterior okular. Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan berupa ultrasonografi B-scan, ultrasonografi biomikroskopi, dan pemeriksaan genetik. Peters’ anomaly sering berhubungan dengan abnormalitas okular lain seperti glaukoma, katarak, mikroftalmia, sklerokornea, hipoplasia iris, aniridia dan koloboma. Glaukoma pada Peters’ anomaly terjadi 50 – 70% kasus.

Hal tersebut disebabkan karena bilik mata depan yang dangkal akibat disgenesis struktur sudut bilik mata depan sehingga menyebabkan gangguan aliran humor akuos. Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan pada kasus kekeruhan kornea adalah sklerokornea, robekan membran Descemet (akibat trauma forseps atau glaukoma kongenital), ulkus, penyakit metabolik (seperti mukopolisakaridosis),defek kornea posterior (seperti Peters’ anomaly dan keratoconus posterior), edema kornea akibat glaukoma atau distrofi kornea congenital (seperti congenital hereditary stromal dystrophy/CHSD dan congenital hereditary endothelial dystrophy/CHED), serta dermoid. Sklerokornea dan Peters’ anomaly merupakan disgenesis segmen anterior dan memiliki beberapa karakteristik klinis yang serupa, tetapi Peters’ anomaly masih memiliki daerah kornea yang lebih jernih di perifer, sedangkan sklerokornea merupakan ekstensi jaringan sklera dan vaskularisasi di perifer. Selain itu, kornea pada sklerokornea secara keseluruhan menjadi keruh dan datar. Diagnosis banding lain yaitu disgenesis segmen anterior yang lain seperti sindrom Axenfeld-Rieger. Sindrome Axenfeld-Rieger dikarakteristikkan dengan adanya embriotokson posterior yaitu pergeseran posisi garis Schwalbe yang lebih anterior dari limbus (Axenfeld anomaly) disertai dengan abnormalitas iris, seperti hipoplasia iris, korektopia, polikoria, dan ektropion uvea (Rieger anomaly).

Hal yang membedakan dengan Peters’ anomaly.Pemeriksaan sistemik penting dilakukan untuk menidentifikasi adanya sindrom atau kelainan sistemik yang menyertai. Sebanyak 60% kasus Peters’ anomaly berhubungan dengan kelainan sistemik. Abnormalitas tersebut meliputi postur pendek yang kurang proporsional, hambatan perkembangan, dismorfik fasial dan ekstremitas, malformasi kardiovaskular, genitourinarius, dan susunan saraf pusat (Peters’ plus syndrome). Konsultasi genetik dan pemeriksaan menyeluruh oleh bidang pediatrik sangat direkomendasikan.

Penanganan Peters’ anomaly didasarkan pada derajat penyakit dan prognosis visual. Penanganan tersebut meliputi terapi medikamentosa dan pembedahan.Terapi medikamentosa meliputi obat-obatan untuk mengontrol tekanan bola mata, sedangkan terapi pembedahan meliputi penetrating keratoplasty dan iridektomi perifer. Penetrating keratoplasty direkomendasikan pada pasien dengan kekeruhan kornea bilateral atau derajat kekeruhan yang tebal dengan tujuan untuk meningkatkan kejernihan aksis visual. Pembedahan tersebut sebaiknya dilakukan pada usia 2 – 12 bulan untuk mencegah amblyopia. Penetrating keratoplasty pada kelompok anak masih merupakan tindakan yang menantang dikarenakan Teknik yang sulit, efek samping narkose umum, risiko rejeksi, infeksi, dan kegagalan cangkok, serta penanganan paskaoperasi yang kompleks.

Penanganan Peters’ anomaly tergantung pada derajat penyakit dan prognosis visual. Terapi medikamentosa meliputi obat-obatan untuk mengontrol tekanan bola mata. Penetrating keratoplasty direkomendasikan pada pasien dengan kekeruhan kornea bilateral atau derajat kekeruhan yang tebal dengan tujuan untuk meningkatkan kejernihan aksis visual. Iridektomi perifer dapat dilakukan pada kasus kekeruhan kornea yang ringan tanpa disertai abnomalitas lensa. Peters’ anomaly yang disertai glaukoma dapat dilakukan filtration surgery, angle surgery,krioablasi, dan tube shunt untuk menurunkan tekanan bola mata dan meningkatkan kejernihan kornea. Ekstraksi katarak dapat dilakukan pada kasus katarak dan adhesi kornealentikular.  (oleh :Fanny Gunawan, dr / dr Mayasari Wahyu, SpM(K), M.Kes )

 

Visi dan Misi

Visi dan Misi Tahun 2020 - Tahun 2024

Visi

To Be Excellence Eye Care 

Misi

Eye Care for Everyone Seeing Better World 

• Eye care:
Memberikan pelayanan kesehatan mata
• For everyone:
Pelayanan yang tidak diskriminatif, kepada seluruh warga masyarakat
Seeing Better world:
Melihat dunia dengan lebih baik

Visitor

Today1680
Yesterday2218
This week9598
This month31118
Total1224865

Who Is Online

16
Online

Instalasi SIMRS 2022 © Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo. All Rights Reserved.