RETINOPATI DIABETIK: PERGESERAN PARADIGMA KEBUTAAN PADA ERA MILENIAL

Cetak

Prof. Arief Sjamsulaksan Kartasasmita, dr, SpM(K), M.Kes, MM, PhD menyampaikan pada orasi ilmiah pemberian jabatan Guru Besar Ilmu Kesehatan Mata Universitas Padjadjaran bahwa Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan yang sangat penting. Lebih dari 75% penderita diabetes akan mengalami retinopati diabetik 20 tahun setelah terdiagnosis. Diabetes berhubungan erat dengan lamanya seseorang menderita penyakit tersebut, sehingga semakin tinggi harapan hidup penderita, maka akan semakin besar kemungkinan mengalami retinopati diabetik. Adanya pergeseran gaya hidup saat ini berkontribusi pada kecenderungan penderita diabetes pertama kali terdiagnosis pada usia yang lebih muda, sehingga pasien dapat mengalami retinopati diabetik dan kebutaan lebih cepat. Kebutaan yang terjadi pada usia produktif akan mempengaruhi produktivitas masyarakat secara umum, sehingga masalah ini perlu ditangani dengan segera.

World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 171 juta penderita diabetes melitus pada tahun 2000, terutama pada negara dengan pendapatan menengah kebawah. jumlah ini diprediksikan akan meningkat menjadi sebanyak 366 juta orang pada tahun 2030.

Menurut data yang didapatkan dari International Diabetes Foundation (IDF), prevalensi diabetes di Indonesia mencapai 4,8% pada tahun 2012, dan sekitar 58,8% tidak terdiagnosis. Jumlah yang hampir sama didapatkan dari data Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas) tahun 2007 yang memperkirakan prevalensi diabetes melitus sebesar 5,7%.

Retinopati diabetik merupakan salah satu komplikasi mikrovaskular diabetes melitus dengan angka prevalensi yang cukup tinggi. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, diperkirakan prevalensi retinopati diabetik sebesar 42,6%. Setidaknya akan ditemukan 24.600 orang dengan retinopati diabetik dan sekitar 10% dari jumlah tersebut mengalami kebutaan. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat pada tahun 2030 dengan estimasi 98.400 orang menderita diabetes dan sekitar 11.000 orang di antaranya mengalami kebutaan. Mengingat sebagian besar kebutaan akibat diabetik retinopati merupakan kondisi yang permanen dan tidak dapat diobati, maka pencegahan menjadi hal yang penting.

Penanganan masalah kebutaan yang dapat dicegah menjadi agenda dunia yang ditandai dengan adanya pencanangan “VISION 2020-The Right to Sight”. Angka kebutaan tertinggi di Indonesia saat ini masih disebabkan oleh katarak. Meskipun demikian, sebagian besar kebutaan akibat katarak dapat ditangani dengan teknologi operasi mata yang terus berkembang, sehingga penyebab kebutaan lain berupa retinopati diabetik dapat menjadi penyebab kebutaan utama di Indonesia apabila tidak ditangani dengan baik. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan serius, mengingat kebutaan permanen akibat retinopati diabetik umumnya terjadi pada usia produktif. Untuk menuntaskan permasalahan tersebut, dibutuhkan pemahaman tentang retinopati diabetik dengan peran serta akademisi, tenaga kesehatan, komunitas, dan pemerintah untuk mempercepat pencapaian VISION 2020 dan diharapkan dapat menurunkan angka kebutaan permanen akibat retinopati diabetik.

Kemajuan biologi molekuler serta teknologi pencitraan retina mempermudah pemahaman mendasar dan membantu dalam diagnosis, terapi, dan prognosis retinopati diabetik. Meskipun demikian, gambaran klinis dan keberhasilan terapi pada setiap pasien berbeda. Pemahaman mengenai variasi genetik berbagai protein dan komunikasi seluler yang berperan dalam patofisiologi penyakit berimplikasi pada banyaknya penelitian mengenai “precision medicine” dalam pengelolaan retinopati diabetik.

Implikasi Sosial

Penurunan tajam penglihatan sampai dengan kebutaan permanen akibat retinopati diabetik pada era disrupsi informasi berkontribusi pada penurunan kualitas hidup individu, masyarakat dan bangsa. Gejala depresi, stress, perubahan emosi, dan perubahan status sosial pasien akan memberikan beban tambahan terhadap penurunan kualitas hidup suatu bangsa.

Adanya kemajuan teknologi pada era milenial dan dinamika lingkungan memberikan implikasi pada perjalanan penyakit retinopati diabetik. Perubahan gaya hidup pada generasi milenial, seperti kurang beraktivitas, malas berolahraga, konsumtif, dan pola makan tidak sehat meningkatkan resiko terjadinya obesitas.

Kondisi obesitas ini berhubungan dengan berbagai konsekuensi kesehatan yang merugikan dan salah satunya adalah peningkatan risiko terjadinya diabetes melitus.

Meningkatnya prevalensi diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2 telah menyebabkan peningkatan yang signifikan pada jumlah anak-anak dan dewasa muda dengan diabetes melitus yang berisiko kehilangan penglihatan akibat komplikasi diabetik retinopati.

Terdapat beberapa faktor resiko lainnya yang berhubungan kuat dengan angka kejadian retinopati diabetik yaitu diantaranya kadar glukosa darah, kadar HbA1c, hipertensi, dislipidemia, durasi penyakit diabetes, kehamilan, pubertas, dan penggunaan insulin. Sangat disayangkan faktor risiko tersebut jarang mendapatkan perhatian, meskipun beberapa diantaranya dapat dimodifikasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa regulasi rutin terhadap faktor resiko tersebut berperan penting dalam pencegahan progresifitas penyakit diabetes dan kebutaan akibat komplikasi diabetik retinopati.

Ancaman kebutaan di era milenial

Dengan bergesernya pola hidup masyarakat seiring dengan revolusi industri 4.0, terjadi perubahan pola aktivitas manusia terkait dengan perkembangan informasi teknologi berupa penurunan aktivitas fisik. Saat ini imobilitas dan inaktivitas dapat kita amati terutama pada generasi muda. Remaja maupun masyarakat kalangan yang lebih tua secara masif menggunakan teknologi informasi dalam kegiatan sehari-hari. Sebagai contoh penggunaaan media sosial dapat menghilangkan fungsi masyarakat untuk berinteraksi secara langsung, sehingga pada akhirnya aktivitas fisik yang dilakukan menjadi sangat terbatas.

Kita melihat berbagai lapisan masyarakat yang menggunakan gadget dan peralatan komunikasi dalam kegiatan sehari-hari, berakhir dengan penurunan aktivitas fisik. Perkembangan teknologi informasi juga memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perubahan gaya hidup terutama terkait pola makan. Dengan adanya fasilitas media sosial dan teknologi informasi dalam pemesanan makanan, membuat kecenderungan asupan nutrisi menjadi relatif tidak seimbang dengan aktivitas fisik. Sebagai ilustrasi misalnya siswa SMA atau anak muda saat akan memesan makanan, cukup melakukan pemesanan dengan aplikasi online tanpa harus beranjak dari tempat mereka berada.

Kondisi ini membuat pola penyakit diabetes yang secara umum terjadi lebih lambat cenderung didapatkan lebih awal, sehingga retinopati diabetik sebagai komplikasi juga dapat terjadi lebih dini. Dengan demikian angka kejadian diabetes yang bertambah akan diiringi dengan peningkatan angka kejadian retinopati diabetik. Kondisi tersebut pada akhirnya akan meningkatkan angka kebutaan yang terjadi pada usia produktif.

Hal ini harus menjadi perhatian kita semua karena dapat menyebabkan terjadinya penurunan produktifitas pada generasi milenial yang mengalami gangguan penglihatan akibat retinopati diabetik. Dengan demikian, penyebab kebutaan yang akan terjadi 10 sampai 20 tahun ke depan tidak lagi penyakit yang dapat diobati seperti katarak, penyakit infeksi dan kelainan refraksi. Namun lebih disebabkan oleh penyebab kebutaan yang tidak dapat diobati seperti retinopati diabetik.

Oleh karena itu, peran dari berbagai pihak diperlukan untuk menanggulangi masalah kebutaan yang terjadi pada usia produktif terkait retinopati diabetik. Kebijakan pemerintah dalam membuat keputusan penanggulangan masalah ini sangat penting sehingga dapat meningkatkan produktivitas masyarakat di Indonesia.

Sebagai intisari dari orasi ilmiah ini dapat disimpulkan bahwa terjadi kecenderungan penyakit diabetes pada usia yang lebih muda, sehingga meningkatkan risiko terjadinya retinopati diabetik sebagai penyebab gangguan penglihatan dan kebutaan pada usia produktif. Hal ini memberikan implikasi klinis dan sosial pada individu, masyarakat dan suatu bangsa.