Tatalaksana dan Pencegahan Infeksi Rabies pada Kasus Gigitan Anjing pada Jaringan Periokular

Cetak
Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Kasus gigitan anjing pada manusia merupakan masalah yang kompleks dan merupakan bagian dari masalah kesehatan masyarakat maupun pengendalian hewan. Gigitan anjing dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dan komplikasi yang beragam. Pada usia anak sekolah kerusakan yang sering terjadi yaitu pada daerah kepala dan leher, pada kasus ini biasanya disertai dengan kerusakan di daerah adneksa okular atau pada bola mata, sedangkan pada pasien dewasa kerusakan biasanya terjadi di daerah ekstremitas. Karakteristik kasus gigitan anjing ini antara lain 72% hingga 94% korban biasanya telah mengenal hewan penggigit, dimana 40-65% kasus hewan penggigit tersebut merupakan milik teman atau tetangga korban.

 

Anak kecil lebih rentan terkena gigitan yaitu hampir 75% kasus terjadi pada anak kurang dari sembilan tahun dan lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibanding anak perempuan dengan perbandingan 1.4 : 1. Gigitan anjing dapat mengakibatkan kerusakan yang mengancam jiwa maupun mengancam organ. Gangguan yang terjadi dapat diakibatkan oleh energi mekanik gigitan atau dari infeksi yang dihasilkan seperti tetanus maupun rabies. Rabies merupakan penyakit zoonotik yang bersifat fatal karena dapat mengakibatkan kematian namun dapat dicegah. Tatalaksana yang tepat dalam menangani luka akibat gigitan anjing diperlukan untuk mencegah berbagai komplikasinya termasuk rabies.

Kasus gigitan anjing banyak terjadi pada anak usia sekolah dengan predileksi utama di area wajah. Empat hingga tujuh belas persen kasus melibatkan mata dan jaringan periokular, dengan trauma paling sering terjadi yaitu kerusakan pada kanalikuli, nervus fasialis, levator aponeurosis, glandula lakrimal, muskulus rektus dan troklea. Kerusakan pada tulang orbita dan bola mata lebih jarang terjadi karena adanya refleks mengedip.1,4 Data epidemiologis ini sesuai dengan pasien yang merupakan anak usia sekolah dengan kerusakan yang terjadi pada kanalikuli. Kerusakan jaringan yang terjadi pada kasus gigitan anjing disebabkan oleh kerusakan akibat energi mekanik gigitan dan infeksi. Trauma akibat gigitan anjing pada kasus ini ditandai dengan adanya vulnus ekskoriasi multipel pada area wajah dan vulnus laceratum pada palpebra inferior OS yang disertai dengan ruptur margo dan kanalikuli palpebra inferior OS. Insidensi laserasi kanalikular pada kasus gigitan anjing bervariasi. Savar et al melaporkan 66% gigitan anjing pada kelopak mata mengakibatkan kerusakan kanalikuli, dengan 73% kasus melibatkan kanalikuli inferior, 16% kanalikuli superior dan 11% kanalikuli superior dan inferior.

Pemasangan intubasi silikon selama 2-4 bulan dapat menurunkan insidensi epifora pada pasien.1,4 Hal ini sesuai dengan penanganan pasien pada kasus yang telah dipasangkan silicone tube pada mata kiri. Daerah periokular yang kaya akan suplai vaskular mengakibatkan penyembuhan luka terjadi lebih cepat namun juga memberikan akses langsung infeksi masuk ke pembuluh darah sistemik. Komplikasi akibat infeksi bakteri melalui luka gigitan tersebut antara lain osteomielitis, septic artritis, meningitis dan sepsis. Gejala yang tampak biasanya berupa nyeri yang berlebih, edema, dan pus di sekitar area trauma. Penyakit infeksi lain yang bersifat mengancam nyawa yang dapat terjadi setelah terjadi gigitan hewan adalah rabies. Rabies merupakan penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik yaitu ditularkan dari hewan ke manusia melalui gigitan hewan penular rabies. Rabies tersebar hampir di seluruh dunia dan lebih dari 150 negara telah terjangkit penyakit ini. Dua puluh lima provinsi di Indonesia tertular rabies dan hanya sembilan provinsi yang masih tetap bebas rabies yaitu Nusa Tenggara Barat, Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan data Kemenkes, jumlah rata-rata kasus gigitan hewan penular rabies per tahun adalah 78.413 kasus pada tahun 2011- 2015.

Cara penularan rabies yaitu melalui gigitan dan non gigitan seperti goresan cakaran atau jilatan pada kulit terbuka atau mukosa oleh hewan yang terinfeksi virus rabies. Hewan yang dapat menjadi reservoir virus rabies antara lain anjing, kucing dan kera, dan di Indonesia 98% dari seluruh penderita rabies tertular melalui gigitan anjing. Masa inkubasi penyakit rabies yaitu antara 2 minggu hingga 2 tahun, dengan rata-rata 3-8 minggu. Menurut WHO masa inkubasi infeksi rabies rata-rata yaitu 30-90 hari. Gejala klinis rabies akan timbul setelah virus mencapai susunan saraf pusat. Setelah virus masuk melalui luka gigitan/cakaran virus akan menetap selama dua minggu di sekitar luka gigitan dan melakukan replikasi di jaringan otot sekitar luka gigitan. Virus ini berjalan menuju sistem saraf pusat melalui sistem saraf perifer sehingga tidak terdeteksi melalui pemeriksaan darah. Sampai saat ini belum ada pemeriksaan yang dapat mendiagnosis dini rabies sebelum muncul gejala klinis. Gejala klinis infeksi rabies pada manusia dibagi menjadi beberapa tahap, antara lain tahap prodromal, tahap sensoris, eksitasi dan tahap paralisis. Tahap prodromal merupakan tahap awal gejala yang ditandai dengan demam, lemas, lesu, anoreksia, insomnia, sakit kepala hebat dan nyeri tenggorakan. Tahap sensoris ditandai dengan kesemutan atau rasa panas (parestesi) di lokasi gigitan, cemas dan reaksi berlebih pada rangsang sensorik. 80% pasien mengalami tahap eksitasi yang terjadi selama rata-rata 5 hari. Pada tahap eksitasi penderita mengalami berbagai macam gangguan neurologis, tampak bingung, gelisah, halusinasi, perubahan perilaku menjadi agresif serta berbagai macam fobia. Gejala lain antara lain spasme otot, hiperlakrimasi, hipersalivasi, hiperhidrosis dan dilatasi pupil.

Setelah beberapa hari pasien akan meninggal karena henti jantung dan nafas. Bentuk lainnya adalah rabies tipe paralitik yang mencapai 30% dari kasus rabies dan dengan lama sakit rata-rata 13 hari. Bentuk ini ditandai dengan paralisis otot secara bertahap dimulai dari bekas luka hingga ke otot pernapasan dan jantung. Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap prodromal, tahap eksitasi dan tahap paralisis. Tahap prodromal merupakan tahap awal gejala klinis yang berlangsung selama 2-3 hari, ditandai dengan hewan tidak mengenal tuannya, sering menghindar dan tidak mengacuhkan perintah tuannya, mudah terkejut dan cepat berontak, terjadi kenaikan suhu tubuh, dilatasi pupil dan refleks kornea menurun. Tahap eksitasi terjadi selama 3-7 hari, ditandai dengan hewan mengalami fotofobia hingga sering bersembunyi, tampak gelisah dan mengunyah benda yang tidak wajar atau pika. Pada tahap ini mulai terjadi paralisis otot faring dan laring sehingga terjadi perubahan suara menyalak anjing, hipersalivasi, air liur berbuih kadang disertai darah dari luka di gusi atau mulutnya. Tahap paralisis berlangsung sangat singkat ditandai dengan kelumpuhan otot pengunyah, otot tenggorokan dan paralisis kaki belakang.

Pencegahan penularan rabies pada manusia dilakukan dengan memberikan tatalaksana pada luka gigitan hewan dengan tepat. Pencucian luka dengan air mengalir dan sabun selama 15 menit harus segera dilakukan setelah terjadi pajanan untuk membunuh virus rabies yang berada di sekitar luka gigitan. Selubung luar virus yang terdiri dari lipid akan larut oleh sabun sehingga virus dapat diinaktivasi. Pemberian antiseptik seperti povidone iodine atau alkohol 70% dapat diberikan untuk membunuh virus rabies yang masih tersisa. Tatalaksana selanjutnya adalah dengan pemberian vaksin anti rabies (VAR) dan serum anti rabies (SAR). Pemberian vaksin dan serum anti rabies harus memperhatikan beberapa hal antara lain kondisi hewan pada saat pajanan, hasil observasi hewan, hasil pemeriksaan laboratorium spesimen otak hewan serta kondisi luka yang ditimbulkan. Kondisi luka yang dikategorikan sebagai luka risiko tinggi adalah jilatan/luka pada mukosa, luka di atas daerah bahu, yaitu pada leher, muka dan kepala, luka pada jari tangan dan jari kaki, luka di area genitalia, luka yang lebar atau dalam atau luka multipel. Luka risiko rendah adalah jilatan pada kulit terbuka atau cakaran/gigitan yang menimbulkan luka lecet atau ekskoriasi di area badan, tangan, dan kaki.

World Health Organization (WHO) merekomendasikan tatalaksana berdasarkan kategori pajanan seperti dijelaskan pada Tabel 3.1. Berdasarkan kategori tersebut, pasien pada kasus termasuk ke dalam kategori III yang seharusnya ditatalaksana dengan pencucian dan perawatan luka serta pemberian langsung VAR dan SAR. Kasus gigitan anjing pada area periokular sering terjadi terutama pada anak-anak. Irigasi yang agresif dengan deterjen yang dikombinasikan dengan debridemen jaringan sangat penting dalam penanganan kasus ini. Luka risiko tinggi juga perlu diberikan antibiotik juga profilaksis tetanus dan rabies. Penanganan luka pada kasus ini bersifat kompleks karena perlu memperhatikan risiko infeksi pada area luka dan hasil kosmetik dari bekas luka. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa penjahitan primer yang dilakukan segera memiliki angka insidensi infeksi yang sama dibandingkan dengan penutupan luka yang ditunda namun memiliki hasil kosmetik yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Erickson BP, Feng PW, Liao SD, Modi YS, Ko AC, Lee WW. Dog bite injuries of the eye and ocular adnexa. Orbit. 6 Juni 2018;

2. Alizadeh K, Shayesteh A, Xu ML. An Algorithmic Approach to Operative Management of Complex Pediatric Dog Bites: 3-Year Review of a Level I Regional Referral Pediatric Trauma Hospital. PRS Global Open. 2017;

3. Pfortmueller CA, Efeoglou A, Furrer H, Exadaktylos AK. Dog Bite Injuries: Primary and Secondary Emergency Department Presentations—A Retrospective Cohort Study. The Scientific World Journal. 2013;2013:1–6.

4. Cavalcanti AL, Porto E, dos Santos BF, Cavalcanti CL, Cavalcanti AFC. Facial dog bite injuries in children: A case report. International Journal of Surgery Case Reports. 2017;41:57–60.

5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia. 2017.

6. Naik BN, Sahu SK, Kumar S G. Wound management and vaccination following animal bite: a study on knowledge and practice among people in an urban area of Pondicherry, India. Int J Community Med Public Health. 2015;2(4):501–5.

7. Chen E, Hornig S, Shepherd SM, Hollander JE. Primary Closure of Mammalian Bites. Academic Emergency Medicine. 2000;7(2):156–61.

8. North Carolina Department of Health and Human Service. Rabies Risk Assessment Steps, Management of Bite Wounds and PEP For Healthcare Providers. North Carolina; 2015. 1-10 hal.

9. Trivedi N, Patel S. Management of Dog Bite Injuries in Periocular Area. 2009;64(2):13–4.

10. World Health Organization. Rabies Vaccine. In: WHO Position Paper. Geneva; 2018. hal. 201–20.

11. Rui-feng C, Li-song H, Ji-bo Z, Li-qiu W. Emergency treatment on facial laceration of dog bite wounds with immediate primary closure: a prospective randomized trial study. BMC Emergency Medicine. 2013;13(Suppl 1):1–5.

12. Paschos NK, Makris EA, Gantsos A, Georgoulis AD. Primary closure versus non-closure of dog bite wounds. A randomised controlled trial. 2014;45:237–40.